QANUM - PERDA SYARIAT ISLAM
Tuntutan penerapan syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah provinsi yang kaya akan gas alam ini. Sejarah telah membuktikan perjuangan masyarakat Aceh untuk mendapatkan status istimewa, tidak berjalan mulus. Pada dekade 1950-an, status otonomi Aceh terdegradasi menjadi keresidenan, tunduk di bawah provinsi Sumatera Utara. Keputusan tidak populer ini kemudian mengakibatkan pemberontakan DI/TII pada 1953.
Seiring redamnya pemberontakan DI/TII, Aceh memperoleh status istimewa yang mereka idam-idamkan. Pemberian status tersebut dituangkan dalam sebuah Keputusan Wakil Perdana Menteri, dan kemudian dikukuhkan lewat UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah. Status istimewa tersebut meliputi agama, adat istiadat, dan pendidikan.
Rupanya, status istimewa yang telah diperoleh dengan susah payah tersebut, hanya menjadi titel belaka. Praktis hanya keistimewaan di bidang pendidikan saja yang terealisir, ditandai dengan berdirinya Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Di luar itu, Aceh merasa diperlakukan sama dengan provinsi lain.
Perlakukan 'tidak istimewa' ini bahkan dipertegas oleh penjelasan pasal 93 UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dijelaskan bahwa meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 telah dicabut, akan tetapi sebutan Daerah Istimewa Aceh masih tetap berlaku. Syaratnya, penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I lainnya.
Kekecewaan ini sekali lagi berujung pada gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat. Gerakan pemberontakan yang kemudian populer dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membawa misi berdirinya negara Aceh yang merdeka. Selama kurang lebih 30 tahun, GAM secara bergerilya melancarkan perlawanan hingga penandatanganan Mou di Helsinki 15 Agustus lalu.
Namun jauh sebelumnya MoU, beberapa tuntutan masyarakat Aceh sedikit demi sedikit telah dipenuhi oleh Pemerintahan Pusat, termasuk tuntutan perubahan nama provinsi dari Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tuntutan lain yang direalisasikan adalah penerapan syariat Islam. Diawali dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pasal 4 ayat (1) menegaskan, penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam.
Penerapan syariat Islam di Tanah Rencong dipertegas lagi lewat UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD. Realisasi penerapan syariat Islam kemudian semakin lengkap dengan dibentuknya Mahkamah Syariah berdasarkan Keppres No. 11/2003, serta pemakaian nama Qanun untuk produk perundang-undangan tingkat daerah.
Qanun
Qanun yang pertama kali diperkenalkan oleh UU No. 18/2001, memiliki kedudukan yang signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah di Aceh. Sebab, qanun dijadikan perangkat hukum utama bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang tengah giat-giatnya ditata kembali pasca penandatanganan MoU Damai. Apalagi UU No. 18/2001 mengisyaratkan bahwa kedepannya nanti tidak akan ada lagi peraturan daerah (perda) di Aceh.
Secara gramatikal, kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qaanuun atau qānūn. Dimana menurut Kamus Kontemporer Arab-Indonesia yang disusun oleh Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, qaanuun atau qānūn artinya kompilasi, himpunan peraturan atau Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan.
Pasal 1 butir 8 UU No. 18/2001 mendefinisikan qanun adalah sebagai peraturan daerah (perda), yang menjadi peraturan pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
Definisi yang beragam juga diberikan oleh beberapa RUU mengenai Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh yang tengah disusun oleh sejumlah kalangan yang berkepentingan seperti pemerintah, kalangan universitas, dan LSM-LSM. Penyusunan RUU ini merupakan salah satu tuntutan yang tertuang dalam MoU Damai RI-GAM, khususnya butir 1.1, dimana ditargetkan UU tersebut dapat diselesaikan sebelum 31 Maret 2006.
Definisi qanun menurut RUU Pemerintahan Aceh
Versi | Definisi |
Pemerintah | Qanun khusus adalah perda provinsi NAD sebagai pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Pemerintahan Aceh |
Qanun provinsi adalah perda provinsi dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan | |
LSM | Qanun adalah perda yang dibentuk oleh DPRD sebagai legislatif daerah dengan persetujuan bersama Gubernur dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan |
Universitas Malikul Saleh | Qanun adalah perda sebagai pelaksanaan Undang-undang di NAD dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan NAD |
IAIN Ar-Raniry | Qanun adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Gubemur bersama DPRD atas persetujuan Lembaga Wali Nanggroe dalam rangka pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh |
Universitas Syiah Kuala | Qanun khusus adalah perda provinsi NAD sebagai pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Pemerintahan Aceh |
Qanun provinsi adalah perda provinsi dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan |
Terlepas dari beragam definisi tadi, karakteristik khusus qanun telah memunculkan sejumlah permasalahan, yang tidak jarang 'menyimpang' dari ketentuan. Misalnya penggunaan istilah, asas personalitas, dasar hukum, dan materi muatan.
Terkait penggunaan istilah qanun, ada kritik dari pakar ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia Maria Farida Indrawati.
Menurut Maria Farida Indarawati:
Sebaiknya terhadap seluruh perda di Aceh tetap menggunakan istilah perda. Penggunaan istilah qanun dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat, khususnya masyarakat non muslim yang tidak mengerti arti qanun. Bandingkan dengan Papua, sebagai konsekuensi dari otonomi khusus, Papua juga menerapkan perda yang bersifat khusus. Hanya saja, mereka menggunakan istilah 'perdasus' (peraturan daerah khusus), disamping 'perdasi' (peraturan daerah provinsi).
Selain masalah penggunaan istilah, penggunaan simbol-simbol lain yang kental nuansa keislaman. Salah satunya adalah penggunaan kalimat 'bismillahirrahmanirrahiim' pada bagian pembuka setiap qanun. Menurut Maria, penggunaan kalimat tersebut jelas berbeda, kalaupun tidak mau dikatakan bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Lampiran UU No. 10/2004 B.1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 14. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin. |
Penggunaan kalimat Basmalah akan memunculkan kecemburuan dari suku atau agama lain. Sebagai ilustrasi, Maria mengatakan provinsi Bali bisa saja menuntut agar mereka dapat menerbitkan perda khusus yang dibuka dengan kalimat sejenis sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Asas personalitas
Masalah lain adalah asas personalitas atau siapa subjek yang dituju oleh qanun. Terkait hal ini, Abdullah Puteh ketika masih aktif sebagai Gubernur provinsi NAD, menegaskan bahwa penerapan syariat Islam, termasuk lingkup wewenang Mahkamah Syariah, hanya berlaku bagi warga Aceh yang beragama Islam.
Namun, penegasan Puteh itu terbantahkan oleh Qanun No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Pasal 1 butir (7) menyatakan yang dimaksud dengan masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di provinsi Daerah Istimewa Aceh. Artinya tidak ada penegasan apakah syariat Islam hanya berlaku bagi masyarakat Aceh yang muslim atau sebaliknya.
Tidak adanya penegasan tersebut, tentu akan menimbulkan masalah. Bisakah seorang non-muslim dipidana jika ia melanggar syariat Islam bersama seorang Muslim? Problem ini dapat merujuk pada ketentuan pasal 4 ayat (3) dan pasal 19 Qanun No. 5/2000.
Berdasarkan Qanun ini, masyarakat yang berdomisili atau singgah di Aceh dapat dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda Rp 2.000.000 apabila tidak menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Anehnya, penjelasan Qanun No. 5/2000 tidak menjabarkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan tidak menghormati pelaksanaan syariat Islam.
Perlu ada penegasan kepada siapa qanun dapat diberlakukan. Penegasan ini, lanjutnya, perlu dilakukan karena besar kemungkinan ada masyarakat lain selain masyarakat muslim yang tinggal di Aceh. Artinya ada sejumlah orang yang tidak bisa dipaksakan untuk tunduk terhadap syariat Islam.
Pijakan dasar
Dalam setiap qanun yang diterbitkan oleh Pemerintah provinsi NAD, selalu disebutkan Qur'an dan Hadist pada bagian dasar hukum. Dalam hukum Islam, Qur'an dan Hadist memang merupakan rujukan utama.
Namun, penempatan Qur'an dan Hadist jelas 'menyimpang' dari ketentuan yang tercantum dalam UU No. 10/2004. Pada bagian B.2 Lampiran UU No. 10/2004, dinyatakan bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Ditegaskan pula bahwa yang dapat digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Artinya, yang dapat dijadikan dasar hukum 'hanyalah' peraturan perundang-undangan lain yang setingkat atau lebih tinggi yang terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sementara, Qur'an dan hadist jelas berada di luar tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia.
Dari segi teori perundang-undangan, penempatan Qur'an dan Hadist dapat dikatakan keliru besar. Walaupun qanun ada dalam konteks penerapan syariat Islam, tetapi tetap saja qanun seharusnya tetap berada pada jalur sistem hukum nasional. Apabila Qur'an dan Hadist ditempatkan sebagai dasar hukum, maka telah mengecilkan arti Qur'an dan Hadist itu sendiri. Karena, lanjutnya, dengan asumsi qanun itu adalah perda dan menurut tata urutan, perda dibawah peraturan di tingkat pusat, berarti menempatkan quran dan hadist sebagai dasar hukum sama saja dengan menempatkan kedua norma yang dipandang suci tersebut di bawah peraturan buatan manusia.
Masalah terakhir adalah terkait dengan materi muatan dari qanun. Dengan asumsi qanun adalah perda, maka seharusnya materi muatan suatu qanun adalah materi muatan perda. Menurut pasal 12 UU No. 10/2004, materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan pasal tersebut bermakna sangat luas dan bersifat 'karet'. Setiap daerah berhak untuk menafsirkan sendiri apa yang dimaksud dengan hal-hal penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan yang lebih tinggi.
Pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjutnya, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan diatasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Sebagai ilustrasi, qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk; qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan diatasnya yang terkait yakni KUHP.
TULIS KOMENTAR
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
Akan tetapi, sekali lagi karena alasan otomi daerah dan kebutuhan masyarakat, banyaknya Perda tersebut justru merumitkan dan membuat masalah baru pada berbagai aspek hidup dan kehidupan masyarakat. Perda-perda yang ada pada kabupaten - kota di NKRI, bukan saja menyangkut atau berhubungan dengan hal-hal sosial - ekonomi, tetapi sudah mencapai ranah agama dan kepercayaan. Bahkan, ada Perda yang secara teknis, sampai-sampai, mengatur cara berpakaian, makan, minum, keluar malam, dan hal-hal sepele, yang sebetulnya menjadi domain private seseorang.
Perda seharusnya membawa atau menjadikan masyarakat lebih mudah - bebas - nyaman mengekspresikan diri dalam berbagai hal. Oleh sebab itu, muatan-muatan yang ada pada/di/dalam ayat-ayat Perda menyangkut berbagai aspek; misalnya memberi perlindungan; menciptakan rasa tenteram; mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia; mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan), serta menjaga kesatuan dan persatuan NKRI; tidak bertantangan dengan sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Dan juga patut dan harus diperhatikan adalah setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan juga hal-hal lain yang bertalian dengan itu.
Lalu, bagaimana dengan puluhan (atau bahkan telah mencapai ratusan) Perda Bernuansa Agama di Nusantara!? Silahkan chek di kemenkumham.go.id atau pun di wikipedia, maka akan bertemu dengan Perda-perda bernuansa agama tersebut; yang cenderung rasis serta diskriminasi terhadap perempuan serta masyarakat minoritas (terutama mereka yang berbeda agama serta kepercayaan).
Jika mau sedikit rajin menelusuri arsip google maka akan bertemu dengan ratusan perda rasial dan perda diskriminasi; dan semuanya itu justru membuka peluang untuk perpecahan masyarakat - bangsa - rakyat NKRI.
Jadi, bisa dipastikan bahwa perda bernuansa agama, sama sekali tak ada manfaat untuk peri kehidupan berbangsa dan bernegara serta HAM, juga pada pemeluk agama itu sendiri.
Umat beragama akan akan menjadi lebih takut pada polisi swasta yang bertugas mengawasi seseorang mengikuti perda keagamaan atau tidak, dari pada Sang Ilahi yang ia sembah sesuai ajaran agamanya. Dengan demikian, mereka mengikuti ajaran agama bukan karena alasan iman - spritualitas yang datang dari dalam jiwanya, namun karena ketakutan terhadap para polisi keagamaan yang mengintai masyarakat; sehingga, tak melakukan kewajiban beragama menjadi sama dengan ketakutan ditangkap.
Dan lebih dari itu, semakin muncul - bertambahnya kota/kabupaten atau pun propinsi yang mengeluarkan - memberlakukan Perda bernuansa agama, maka sekaligus menampilkan telah berbeda dengan daerah-daerah lain dalam kesatuan NKRI. Itu berarti, semakin terbuka peluang untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga, menurut saya, perda buka lagi peraturan daerah, melainkan alat untuk perpecahan daerah - pemisahan daerah dari NKRI
Oleh Jappy Pellokila/12 Juni 2012
PERDA |
AGAMA | |
Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, (UU RI N0 Thn 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kemenkumham.go.id). Tidak bisa dibantah bahwa kebijakan otonomi daerah (yang luas pada wilayah Kabupaten dan kota) telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten. Penyusunan Perda-perda tersebut mempunyai dasar/landasan hukum yang kuat secara konstitusional, antara lain
|
| Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu (yang supra natural) dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat memperoleh keselamatan; dalam arti nanti di akherat. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia (pendiri atau pengajar utama agama) untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan (dalam arti seluas-luasnya) secara pribadi dan masyarakat. |
Upaya untuk mengatur dan menata rakyat pada suatu lokasi (negara) tersebut, maka pemerintah membuat undang-undang dan peraturan agar ditaati oleh seluruh warga negara dan aparat pemerintah. Sekaligus, negara membentuk institusi yang memberi sanksi terhadap para pelanggar undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah.
Negara dan Agama, mempunyai kesamaan dan perbedaan; dan paling mendasar adalah, sama-sama melayani manusia pada suatu lokasi tertentu. Bedanya adalah agama melayani manusia dalam hubungan dengan iman - percaya serta aplikasi di/pada hidup sehari-hari; dan negara berurusan dengan sos-pol-ek-kam, dan semua yang bertalian dengan itu. Agama-agama juga berperan bukan untuk memelihara aneka perbedaan, melainkan mengembangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Agama [tokoh agama, penguasa yang berbeda agama, dan program-program pelayanan kepada masyarakat dalam agama-agama] tidak lagi mementingkan kepentingan umatnya saja, tetapi semua bangsa dan rakyat Indonesia.
Dalam negara yang menganut dan menjalankan konsep Agama Negara, maka yang terjadi adalah negara tidak memberi hak hidup serta melakukan penghambatan dan penindasan terhadap Agama-agama yang lain dan umatnya. Pemimpin-pemimpin Agama Negara pun tidak perlu terlalu melelahkan diri dengan mengembangkan misi dan visi Agama, karena seluruh rakyat mau tidak mau memeluk Agama Negara. Karena orang menjadi beragama karena memang harus beragama berdasarkan undang-undang dan pengakuan Negara terhadap satu Agama saja.